Bisa saya sampaikan bahwa DPR kita kali ini adalah DPR paling tenang dan paling hening sepanjang sejarah Reformasi
RUANGPOLITIK.COM — Menurut Direktur Pusat Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto DPR RI saat ini merupakan parlemen yang paling hening selama masa Reformasi.
Hal ini dianggap sebagai bukti bahwa operasi pelemahan politik terhadap suara kritis, termasuk terhadap parlemen yang berperan sebagai pemberi check and balances bagi kekuasaan, telah berhasil.
“Bisa saya sampaikan bahwa DPR kita kali ini adalah DPR paling tenang dan paling hening sepanjang sejarah Reformasi, di mana DPR selalu mengiakan, seia sekata dengan pemerintah, padahal fungsinya seharusnya melakukan kritisme kepada pemerintah,” jelas Wijayanto dalam acara “Peluncuran Outlook 2023, Ritual Oligarki Menuju 2024”, Minggu (29/1/2023).
Ia menyinggung soal berbagai upaya kekuasaan yang tidak diimbangi dengan kritikan dari parlemen, seperti pelemahan KPK, pembuatan Omnibus Law yang berujung vonis inkonstitusional bersyarat dari Mahkamah Konstitusi, serta penyusunan KUHP baru yang kontroversial.
“Lima tahun ini kita merasa tidak punya wakil rakyat,” ucap Wijayanto.
Wijayanto menyatakan, hal ini merupakan petunjuk bahwa kepentingan oligarki masih mengakar kuat di kekuasan, bahkan semakin kuat dibandingkan 2019 dan sedang mengonsolidasikan dirinya menghadapi Pemilu 2024.
“Jadi, dari berbagai indikator itu, kami melihat adanya tanda-tanda yang klir tentang kemunduran demokrasi yang masih berlanjut,” ucap Wijayanto.
Kemudian operasi pelemahan politik dan kekuatan oposisi ini dilakukan secara terus-menerus bahkan dalam mengintervensi struktur partai politik.
Wijayanto menceritakan ulang bagaimana pada 2021 terjadi upaya eksternal merebut Partai Demokrat.
Berikutnya, suksesi kepemimpinan Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), hingga yang terakhir Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dianggap tidak dapat dilepaskan dari dugaan intervensi kekuasaan.
“Sehingga tokoh baru yang terpilih adalah yang lebih dekat atau lebih tunduk kepada kekuasaan,” ungkap Wijayanto.
Saat itu hanya Demokrat yang terbilang cukup tangguh untuk melawan intervensi semacam itu dan berhasil bertahan sebagai kekuatan oposisi.
“Tahun 2022 memang tidak ada peristiwa seperti itu (Demokrat), tapi itu justru merefleksikan bahwa kenyataan semua oposisi dan lawan politik sudah bagian dari kekuasaan, makanya tidak ada seperti itu lagi,” ujar Wijayanto.
Hasil pengamatan Wijayanto, bukan hanya pelemahan DPR sebagai mitra kritis penguasa, tetapi terdapat tiga indikator lain yang juga menunjukkan upaya pelemahan politik dilakukan selama lima tahun terakhir, yaitu diabaikannya aturan main demokratis, meningkatnya anjuran kekerasan, dan pemberangusan kebebasan sipil.(Syf)
Editor: Syafri Ario
(Rupol)