RUANGPOLITIK.COM — Kegaduhan politik nasional menjelang pemilihan presiden tak bisa dipungkiri menimbulkan intrik politik, antar koalisi, kandidat dan kepiawaian dalam merebut hati pemilih. Namun tak bisa dipungkiri dibelakang layar oligarki memiliki peranan penting untuk mengatur siapakah elit yang harus memenangkan kontestasi bergengsi ini. Bagaimana tidak, pusaran uang dari belanja politik yang tak sedikit untuk melakukan mobilisasi massa dan penggalangan kekuatan tak bisa dielakkan menjadi sebuah analisa yang selalu menarik spekulasi para pengamat dan ilmuwan politik.
Profesor Tulus Warsito, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) saat dihubungi RuPol, Sabtu (05/11) mengatakan jika isu oligarki selalu menarik untuk diperdebatkan.
“Pada umumnya orang beranggapan bahwa pemerintah yang sekarang telah diatur sedemikian rupa oleh kelompok oligar sehingga menyengsarakan rakyat karena oligar hanya mengejar kepentingan mereka sendiri. Lalu ada kehendak, di samping karena amanah konstitusi yang mewajibkan adanya Pilpres, rakyat yang “sengsara” itu harus segera ditolong oleh rejim baru yang dianggap bersih dari oligarki. Seolah-olah hanya pemerintah yang ‘dikuasai’ oleh oligarki, sedangkan oposisi (penggantinya) dianggap steril dari pengaruh oligarki,” jelasnya.
Pakar ilmu politik ini menegaskan bahawa ada dua definisi yang bisa kita gunakan untuk mengetahui sosok oligarki ini. Pertama dalam pengertian textual yang berasal dari kata Oligos dan Arki. Oligos berarti sejumlah kecil orang, sedangkan arki adalah sistem atau struktur aturan. Artinya, oligarki adalah suatu sistem aturan (sosial dan politik) yang ditentukan oleh (hanya) sedikit orang. Sedangkan pengertian yang kedua sering diartikan sebagai sejumlah (sedikit) orang di luar sistem (aturan) yang karena kekayaan, tingkat pendidikan, ataupun akses keamanan, sering mempengaruhi (mengatur) pengambilan keputusan negara.
“Yang pertama mengartikan oligarki sebagai sistem kekuasaan yang diatur oleh segelintir orang, dengan demikian siapapun presidennya akan selalu muncul sebagai oligarki. Sedangkan yang kedua mengibaratkan adanya kekuatan diluar sistem, walaupun juga cuma segelintir orang tetapi sengat berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan politik,” ungkapnya.
Sehingga dari yang kedua ini menujukkan bahwa sesungguhnya oligar (pelaku oligarki) itu bukan merupakan kelompok yang monolit atau tunggal, melainkan bisa berada di kelompok politik atau pemerintahan manapun.
Kalau ada bakal calon presiden yang baru dideklarasikan untuk menandingi pemerintah yang dianggap telah dikuasai oleh oligar, bukan berarti bakal calon ini bebas dari oligarki. Justru deklarasi (yang bukan dari sistem KPU) ini menunjukkan adanya kekuatan oligar di pihak oposisi.
“Sungguh naif kalau kita membayangkan bahwa yang mendeklarasikan ini adalah kelompok yang lemah, yang miskin, yang baik-baik saja semuanya,” ulasnya.
Menurut Prof Tulus, dalam Hukum Besi Oligarki yang diusung oleh Robert Mitchels tahun 1919 dinyatakan bahwa dalam setiap organisasi apapun akan terjadi kecenderungan kearah oligarki, dimana pengurus yang jumlah sedikit (minoritas) akan mengatur anggotanya yang tentu lebih banyak(mayoritas).
“Karena si minoritas ini punya keuasaan yang lebih besar dari yang mayoritas, maka konsep organisasi yang semula hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan bersama, berubah menjadi tujuan itu sendiri. Tadinya presiden itu hanya merupakan alat untuk mencapai cita-cita konsitusi (oleh karenanya hanya boleh dua kali saja), berhubung jadi presiden itu nikmat maka kalau bisa ya jadi presiden terus aja,” jawabnya ringan.
Kalau pendapat Mitchels ini benar maka oligarki itu merupakan keniscayaan organisasional. Tidak mungkin ada negara atau pemerintahan (sebagai organisasi) yang terbebas sama sekali dari oligarki. Menjadi jahat kalo yang minoritas itu mengubah pengertian organisasi (yang memang hanya sebagai sarana mencapai tujuan) hanya sebagai tujuan demi kepentingan mereka sendiri.
“Oleh karena itu hentikan menganggap bahwa hanya pemerintah saja yang dimungkinkan diatur oleh oligar, melainkan mulailah memahami juga bahwa para oposan juga dipelihara oleh olgarki. Andaikata bisa, kita adu saja oligar yang jahat melawan yang baik supaya rakyat yang menang, tetapi oligar itu rakyat juga, ternyata,” pungkasnya. (IY)
Editor: Ivo Yasmiati