Deklinasi adalah sudut yang dibentuk antara ekuator langit (proyeksi ekuator Bumi pada bola langit) dengan ekliptika (lintasan edar Bumi mengelilingi Matahari)
RUANGPOLITIK.COM —Awal November 2022 ini tampaknya akan diisi oleh berbagai fenomena astronomi, salah satunya gerhana bulan total.
Selain itu, ada juga fenomena tengah hari yang datang lebih awal atau siang yang singkat pada Kamis, 3 November 2022 besok.
Menurut Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), setiap tanggal 3 November, tengah hari akan terjadi lebih lambat.
“Hal ini dikarenakan nilai perata waktu yang lebih besar (lebih positif) sehingga Matahari akan berkulminasi lebih awal dibandingkan hari-hari biasanya dalam setahun,” tutur Peneliti Pusat Riset Antariksa Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN, Andi Pangerang dalam keterangan tertulis yang dilihat Pikiran-Rakyat.com pada Rabu, 2 November 2022.
Perata waktu adalah selisih antara Waktu Matahari Sejati dengan Waktu Matahari Rata-Rata.
Waktu Matahari Sejati adalah waktu yang diukur berdasarkan gerak semu harian Matahari sebenarnya.
Sedangkan, Waktu Matahari Rata-Rata adalah waktu yang diukur berdasarkan gerak semu harian Matahari rata-rata, yakni tepat 24 jam.
Perata waktu ini dipengaruhi oleh dua faktor, yakni deklinasi Matahari dan kelonjongan orbit Bumi.
Deklinasi adalah sudut yang dibentuk antara ekuator langit (proyeksi ekuator Bumi pada bola langit) dengan ekliptika (lintasan edar Bumi mengelilingi Matahari).
Nilai minimum deklinasi saat ini adalah −23,44 derajat, sedangkan nilai maksimumnya adalah +23,44 derajat.
Kedua nilai ini didasarkan kemiringan sumbu rotasi Bumi terhadap garis tegak lurus ekliptika sebesar 23,44 derajat.
Kemiringan sumbu rotasi Bumi senantiasa berubah dengan periode 41.000 tahun, yakni 22,1 derajat pada tahun 8700 Sebelum Masehi (SM) dan 24,5 derajat di tahun 11800 Masehi (M) mendatang.
Siklus ini disebut juga Siklus Milankovitch, yakni Orbit Bumi yang lonjong membuat Bumi di satu waktu berada pada titik terdekat dari Matahari, disebut juga perihelion, dan di waktu lain berada pada titik terjauh dari Matahari, disebut juga aphelion.
Saat harga mutlak deklinasi Matahari berkurang (Juni-September dan Desember-Maret), Matahari akan berkulminasi lebih lambat.
Sedangkan saat harga mutlak deklinasi Matahari bertambah (September-Desember dan Maret-Juni), Matahari akan berkulminasi lebih cepat.
Saat Bumi menjauhi titik perihelion menuju aphelion (Januari-Juli), Matahari akan berkulminasi lebih lambat.
Sedangkan saat Bumi menjauhi titik aphelion menuju perihelion (Juli-Januari), Matahari akan berkulminasi lebih cepat.
“Kombinasi dari kedua faktor inilah yang membuat Matahari akan berkulminasi lebih cepat pada September-Desember dengan puncaknya pada 3 November,” kata Andi Pangerang.
Nilai perata waktu ketika tengah hari 3 November di Indonesia adalah +16 menit 27 detik.
Untuk menentukan kapan tengah hari dalam waktu lokal, dapat menggunakan rumus berikut: Tengah Hari = 12 + Zona Waktu – Perata Waktu – Bujur/15
Sebagai Contoh:
Bandung (Bujur = 107 derajat 36 menit)
Tengah Hari = 12.00 + 7.00 – (+00.16.27) – (107 derajat 36 menit/15 derajat) = 11.33.09 WIB
Secara umum, dampak tengah hari lebih awal akan menyebabkan waktu terbit Matahari, waktu duha (saat ketinggian Matahari mencapai +4,5 derajat atau sepenggalah), maupun waktu subuh sekaligus awal fajar astronomis (akhir malam astronomis) yang lebih cepat dibandingkan hari-hari lainnya, terutama bagi wilayah selatan Indonesia seperti Jawa dan Nusa Tenggara.
“Hal ini dikarenakan durasi malam hari yang semakin lebih kecil jika dibandingkan dengan durasi siang hari untuk belahan selatan pada umumnya, ditambah juga dengan tengah hari yang lebih awal, sehingga ketiga waktu salat ini menjadi lebih cepat,” ujar Andi Pangerang.
Sedangkan, tengah hari lebih awal akan menyebabkan waktu terbenam Matahari (magrib) maupun waktu isya sekaligus akhir senja astronomis (awal malam astronomis) yang lebih cepat dibandingkan hari-hari lainnya, terutama bagi wilayah utara Indonesia seperti Aceh, Sumatera Utara, Kep. Natuna (Provinsi Kep. Riau), Kalimantan Utara dan Kep. Sangir-Talaud (Sulawesi Utara).
“Hal ini dikarenakan durasi malam hari yang semakin lebih besar jika dibandingkan dengan durasi siang hari untuk belahan utara pada umumnya, ditambah juga dengan tengah hari yang lebih awal, sehingga kedua waktu salat ini menjadi lebih cepat,” ucap Andi Pangerang.
Selain itu, panjang hari surya menjadi tepat 24 jam. Hari surya (solar day) adalah durasi antara tengah hari hingga tengah hari berikutnya.
Hal ini karena panjang hari surya secara matematis merupakan derivasi/turunan fungsi perata waktu.
“Saat perata waktu mencapai nilai maksimum maupun minimum, maka derivasinya tepat nol. Sehingga, panjang hari surya menjadi setimbang,” kata Andi Pangerang.
“Panjang hari surya bervariasi antara 24 jam minus 11 detik (18 September) hingga 24 jam plus 30 detik (25-26 Desember),” tuturnya.
“Fenomena ini tidak berdampak bagi kehidupan manusia di Bumi,” ucapnya menambahkan.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)