Oleh: Dr. Sholeh Basyari, M.Phil
RUANGPOLITIK.COM – Sabtu, 1 Oktober 2022 puluhan ribu manusia dengan atribut warna warni khas Aremania, dengan penuh antusiasme dan harapan mendatangi gedung olahraga penuh sejarah bagi mereka, yakni Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
Lantunan yel-yel dan pekik ‘Salam Satu Jiwa’ membahana membuncah, mengingatkan bahwa mereka satu keluarga besar tanpa melihat perbedaan, strata ekonomi, sosial dan pendidikan. Mereka adalah satu, yaitu “Aremania“!.
nfl jerseys cheap
nike air jordan 1 mid
nike air max 90 futura
jerseyscustomforsale
new adidas shoes
Human hair Wigs
natural hair wigs
nike air jordan for men
design custom soccer jersey
Natural wigs
sex toy shop
custom jerseys football
custom football jersey
custom hockey jersey
adidas outlet
sex toys
Satu kelompok suporter sepakbola terbesar di Tanah Air, yang sudah mewarnai kancah olahraga rakyat itu sejak dulu kala.
Tidak ada Aremania, tidak ada pesta. Aremania bukan hanya terkenal karena besar dan banyak anggotanya, tapi Aremania terkenal dengan kreatifitas yang luar biasa. Berkali-kali Aremania mendapatkan penghargaan sebagai suporter terbaik dan termasuk paling profesional dan modern di lingkup sepakbola Indonesia.
Aremania memberi kehidupan bagi klub Arema Malang dan daerah Malang, tidak hanya dengan semangat mereka, tapi juga secara materi. Mereka membeli atribut langsung dari Merchandise Arema, bahkan Aremania membeli tiket secara langsung dan tertib, tidak ada yang mau masuk gratisan. Tidak hanya di Malang, namun Aremania juga menyebar ke seluruh Indonesia.
Penjual Bakso Malang di Kabupaten Rokan Hulu, Propinsi Riau dengan bangganya menyampirkan syal Aremania saat berjualan keliling. Seorang Tukang Parkir berkaos Arema, dengan gambar Singa Besar di sebuah Alfamart di Makassar, duduk di bawah tiang listrik sambil menonton. Arema melalui Hp buram dengan sesekali berteriak dan mengumpat. Itulah hiburan mereka, kegembiraan yang mengubah harapan jadi kehidupan.‘ Salam Satu Jiwa’
Namun, semua tentang Aremania, tentang kebesarannya, tentang ketertibannya, tentang profesionalismenya, tentang semangat dan tentang kehidupan yang mereka sebarkan ke seluruh Indonesia, tiba-tiba Sabtu Malam itu, berubah menjadi “kegelapan penuh kabut, rintihan kepedihan, riyut ketakutan dan pilu kematian”
Kehidupan itu telah direnggut
Sabtu Malam, 1 Oktober 2022, mereka telah mati dan akan menjadi masa-masa kegelapan yang tidak akan pernah terlupakan. 133 nyawa melayang dan hampir seribu orang menderita kesakitan yang sulit untuk dilupakan.
Indonesia tersentak, semua perhatian teralihkan dan semua tertuju ke Kanjuruhan. Ferdy Sambo yang seperti memenuhi udara informasi, akhirnya tersisihkan sejenak. Semua pihak saling salah menyalahkan, semua pihak saling tidak mau bertanggung jawab.
Spekulasi bermunculan, mulai dari bentrok antar suporter, tapi suporter yang mana? Toh, Bonek kelompok suporter Persebaya yang jadi lawan malam itu tidak hadir. Suporter membuat kerusuhan, suporter menyerang tim lawan, suporter menyerang aparat keamanan, dan lain-lain. Pokoknya suporter, pokoknya Aremania. Titik.
Tapi 133 nyawa hilang, apakah karena suporter saling membunuh? Bukan, tapi karena suporter lah adanya GAS AIR MATA (GAM). Karena GAM lah terjadi desak-desakan dan saling himpit. Karena desak-desakan dan saling himpitlah, suporter meninggal. Jadi berawal dari suporter dan berakhir dengan kehilangan nyawa suporter.
Selesai sudah, clear semua!
Semudah itu dan segampang itu!
Urusan nyawa tidak semudah dan segampang itu selesai, karena kehidupan adalah Hak Paling Dasar Manusia. Para aktivis HAM dan Dunia Internasional teriak, harus ada yang bertanggung jawab, bukan hanya suporter.
Panitia Pelaksana (Panpel), PT Liga Indonesia Baru (PT LIB), PSSI, Aparat Keamanan (Polisi dan TNI) termasuk negara, menjadi sorotan. Sampai muncullah 7 tersangka yang terdiri dari Direktur PT LIB, Ketua Panpel, Polisi dan terakhir 1 orang dari TNI.
Tidak sampai disitu, kemudian juga hadir Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang langsung dipimpin oleh Menkopolhukam Mahfud MD. Sebuah tim yang memiliki kapasitas dan kemampuan penuh untuk merekonstruksi peristiwa yang terjadi secara lengkap.
Dua pekan waktu yang dijanjikan, sampai akhirnya keluar sebuah hasil dalam bentuk rekomendasi-rekomendasi.
“Tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang, di mana terjadi kerusuhan pasca-pertandingan sepakbola antara Arema vs Persebaya pada tanggal 1 Oktober 2022, terjadi karena PSSI dan para pemangku kepentingan liga sepakbola Indonesia tidak profesional, tidak memahami tugas dan peran masing-masing,” kata Menko Polhukam Mahfud Md dalam jumpa pers, Jumat (14/10/2022).
Selanjutnya disebut tentang kondisi stadion, ketidakprofesionalan panitia, PT LIB sampai pembenahan menyeluruh PSSI, sebagai bumbu penyedap tidak lupa TIGPF ‘memghimbau atau menyarakan’ Ketua PSSI M Iriawan (Iwan Bule) untuk mundur, sebagai bentuk tanggung jawab moral. Hanya himbauan, karena pemerintah tidak bisa mengintervensi PSSI.
Terus dimana poin tentang 133 nyawa yang hilang?
Apakah kehilangan nyawa sebanyak itu, harus terlupakan atau dilupakan, hanya sebagai pembelajaran supaya tidak terjadi lagi ke depannya?
Penghilangan nyawa 133 Aremania itu, jelas merupakan penghilangan hak hidup yang masuk dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik, dimana Indonesia ikut dalam meratifikasi. Ini adalah pelanggaran HAM, yang jelas tidak bisa hanya dengan menjadikan beberapa orang sebagai tersangka.
Pelanggaran HAM bukanlah urusan orang per orang, tapi warga dengan negara sebagai duty bearer (pemangku kewajiban). Hak hidup 133 nyawa itu adalah tanggung jawab negara dan negara tidak bisa berlepas diri dengan hanya menjadikan tersangka beberapa orang.
Pelaku pelanggaran HAM dalam semua aspek, termasuk penghilangan hak sipil, hal hidup dan hal beragama itu adalah negara.
Jika hilangnya nyawa itu tersangkut karena perkelahian antar suporter, maka itu adalah kriminal murni. Namun jika hilangnya nyawa itu karena adanya tembakan gas air mata oleh polisi ataupun aparat keamanan lainnya (seperti hasil TGIPF), maka negara adalah pelaku. Harus ada tanggung jawab negara yang jelas terhadap tragedi ini.
Tragedi Kanjuruhan terlepas dari hingar-bingar politik, jauh dari kepentingan politik, adalah hak setiap warga untuk mendapatkan hiburan dan kewajiban bagi negara untuk memberikan kenyamanan, pengamanan dan perlindungan. Terlepas dari adanya pemicu dari suporter, yang seharusnya juga sudah ada antisipasi dari awal.
Kehilangan nyawa 133 orang dalam satu peristiwa, tidak menjadi selesai dengan hanya mentersangkakan beberapa orang, namun negara sebagai pelaku utama dalam Kovenan HAM. TGIPF jelas melupakan atau mengabaikan hal itu, dengan tidak mencantumkan NEGARA sebagai PELAKU UTAMA.
Hal ini sangat bisa untuk ditindaklanjuti ke Badan HAM PBB, jika Komnas HAM tidak mengambil peran di sini. Dengan rekonstruksi peristiwa yang terjadi, pelaporan ke Badan HAM PBB, sudah cukup untuk membawa negara ke dalam penanggung jawab utama kehilangan 133 nyawa tersebut, yang mungkin saat ini sedang menangisi hasil dari TGIPF itu.
**
Penulis adalah Direktur Eksekutif Center for Strategic on Islamic and Internasional Studies (CSIIS)
Editor: Syafri Ario
(Rupol)